Wednesday, March 02, 2011

Pemimpin “rai gedhek”


Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah untuk menyebut orang yang tidak tahu malu yaitu rai gedek. Rai berarti muka dan gedek berarti dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Kurang lebih kalau dialihbahasakan artinya “tebal muka atau muka tebal”. Orang-orang dengan karakter “rai gedek” ini biasanya melakukan tindakan tidak pantas yang berdampak buat orang banyak.

Akhir-akhir ini merebak dimana-mana fenomena pemimpin “rai gedhek”. Merasa masih didukung dan dibutuhkan rakyat, mereka mempertahankan kekuasaannya. Padahal jutaan rakyat meminta mereka turun. Presiden Ben Ali, Husni Mubarak dan pemimpin-pemimpin bangsa lainnya adalah sedikit contoh dari pemimpin dengan karakter ini. Puluhan tahun berkuasa ternyata belum juga puas menjadi penguasa. Namun pada saat yang sudah ditakdirkan, semuanya akan berganti seperti yang Allah firmankan di dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imron ayat 140 – 141 yang berbunyi ”Hari-hari itu kami pergilirkan di antara manusia, supaya Allah mengetahui orang-orang yang beriman dan menjadikan sebagian kalian sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim. Dan supaya Allah menyaring orang-orang yang beriman dan melenyapkan orang-orang kafir.”

Di negeri kita tercinta pun tidak banyak berbeda. Yang paling “hot” adalah kisah ketua umum PSSI. Seolah menjadi penguasa tiada duanya, teriakan jutaan suporter yang memintanya untuk turun tidak digubris. Bahkan peringatan dari pemerintah pun dicuekin. Mestinya seorang pemimpin bisa menggunakan “head, heart dan gut”-nya sehingga tidak harus terjadi pemaksaan kehendak rakyat untuk menurunkan pimpinannya. Berjiwa besar untuk tahu diri bahwa sudah tidak pantas lagi menjadi pemimpin, adalah tindakan tepat untuk memberikan keadaan terbaik bagi organisasi yang dipimpin.

Beberapa pejabat yang juga tidak “capable” dengan tugasnya, terang-terangan menolak untuk mengundurkan diri. Dengan alasan kalau presiden menyuruh saya berhenti, maka saya berhenti. Berbeda dengan masyarakat Barat yang mengenal guilt feeling dan masyarak Jepang yang menganut shame feeling. Pemimpin kita lebih banyak menganut rai gedhek feeling. Mengutip kumpulan berita dari seorang Jurnalis, Joko Pitono, bahwa seorang Kastaf AD Jerman bernama Jenderal Wolfgang Scheiderhan langsung mengundurkan diri begitu tersiar laporan dirinya menutupi fakta bahwa serangan militer tentara Jerman dalam NATO di Afghanistan pada 24 September lalu telah menewaskan puluhan warga sipil. Contoh lainnya adalah Menkeu Jepang Soichi Nakagawa yang mundur dari jabatannya pada 17 Februari 2009, setelah media melaporkan bahwa dia mabuk dalam konferensi pers di Roma saat pertemuan G-8. Sekitar empat tahun lalu, tepatnya 3 Juli 2007, Menhan Jepang Fumio Kyuma mundur setelah menyatakan bahwa serangan bom atom AS di Hiroshima dan Nagasaki “tidak terhindarkan”. Bahkan tidak sedikit pemimpin Jepang yang harus bunuh diri ketika malu melakukan kesalahan.

Pemimpin kita tak harus bunuh diri ketika malu telah melakukan kesalahan. Karena dalam Islam bunuh diri adalah dosa besar. Yang lebih penting bertaubat dan kembali ke jalan-Nya yang benar. Satu hal yang utama adalah apabila seorang pemimpin merasa sudah tidak pantas lagi menjadi pemimpin, mundur dengan jiwa besar adalah pilihan terbaik. Sebuah pepatah Jawa mungkin sangat tepat buat kita agar tidak menjadi pemimpin “rai gedhek” yang berbunyi : Dadio wong sing iso rumongso, ojo dadi wong sing rumongso iso, yang artinya kurang lebih jadilah orang yang bisa merasa, jangan jadi orang yang merasa bisa.

No comments:




Website counter